Monday, January 23, 2012

Gara-Gara Toge


Bel istirahat berbunyi, akupun buru-buru keluar kelas menuju toilet karena kebelet pipis. Serrrrrrrrrr, lega rasanya. Setelah itu aku menuju lapangan basket, kok tumben nggak ada kawan sekelasku, aku menapaki perpustakaan, ubek sana ubek sini tetap nggak ketemu. Kompak banget mereka pada ngumpet, perasaan tadi nggak janjian main petak umpet deh.

Aku kembali ke koridor dekat tangga, pusatnya Smandel, cepat atau lambat pasti bertemu dengan kawan sekelasku, betul juga Yenny Avesta turun dari tangga, “Yen, anak-anak pada kemana sih? kok nggak pada kelihatan?”.
“Lagi pada ngerjain tugas Kesenian nanti dikumpulin, elo udah bikin?”, Yenny memberikan jawaban.
2 IPA 8 saat kemping bersama Bagus, Endang, Fiera, Vivi, Nia

Tanpa ba-bi-bu lantas aja aku menuju kelas, mengambil kertas selembar yang aku sobek dari buku tulisku. Langkah pertama menulis identitas di atas kertas, “Chormen 2 IPA 8”. Selanjutnya aku membuat 5 baris sebanyak 4 buah untuk tempat toge, julukan not balok saat itu, setelah itu nyontek punya Iva yang sedang disalin Iriana.

Baru satu bait sudah ditarik Iva, aku tarik tugas Iriana “Na, gue salin punya elo, elo nyontek punya siapa?”, aku meminta konfirmasi, musti jelas tugas siapa yang aku salin.
“Bait pertama sama kedua punya Iva, bait ketiga gue bikin sendiri”.
Vivi dan Iriana

Bel masuk berbunyi, aku masih sibuk salin sana salin sini. Pak Amri masuk kelas tepat saat aku mengumpulkan tugas arrangement 3 suara lagu Sarinande. Semua tugas sudah terkumpul, giliran pak Amri memilih salah satu arrangement untuk dinyanyikan bersama. Siapa yang bakal mendapatkan jackpot, eng …. ing …. enggg ….

“Men, punya elo”, Vivi yang duduk di depan memberitahu, aku nggak kaget, semua kawan sekelas juga nggak kaget punyaku terpilih, soalnya di semester 3 nilai ulanganku 29 dari 3 ulangan, bahkan di smester 4 ini aku memperoleh nilai 30 dari 3 ulangan arti aku mendapatkan hattrick perfect 10.
2 IPA 8, Zanuba, Willem, Wijanarko, Fiera, Bajaj, O, Ady, Iriana, Yenny, Nia, Pipin, Vivi, Aan, Andrina

Pak Amri mulai memindahkan tugasku ke papan tulis diawali dengan menulis judul Sarinande, aku justru menyenandungkan lagu Que Sera-Sera ……….. whatever will be, will be ….

Kami semua menyanyikan notasi 3 suara. Bait pertama sampai ketiga masih oke, bait keempat mulai sedikit kacau, pak Amri 3 kali mengganti letak bulatan toge untuk menyempurnakan arrangement. Secara keseluruhan sih nggak jelek, tetapi ….. nggak bagus juga.

Selesai pelajaran Kesenian waktunya istirahat, aku termenung di depan pintu kelas, kecewa dan malu sudah pasti, andai aku memiliki cukup waktu pasti hasilnya lebih baik. Di saat seperti ini aku membutuhkan kawan yang dapat menghiburku, dan aku nggak harus menunggu lama.
Aria ditengah tanpa gitar

“Udah Men, nggak usah sedih”, suara yang aku kenal, Aria, dia datang sambil menepuk pundakku. Kamu pasti beruntung jika memiliki sahabat seperti yang aku punya, yang selalu ada dalam suka dan duka, terutama saat sedih seperti ini.

“Udah Men, nggak usah sedih”, sengaja kalimat itu aku ulangi karena merupakan bagian favoritku. Kemudian Aria melanjutkan, “Masih untung penciptanya nggak di sini. Coba kalau ada ……………, udah dibacok kepala elo dari tadi”.

Thursday, February 5, 2009

Kunci Matematika

Lazuandy Masrie ‘81

Pernah teman-teman sekelas berpatungan, setelah uang terkumpul berangkatlah utusan ke Pasar Senen, tempatnya toko buku pinggir jalan, yang dibeli kunci jawaban matematika. Tujuannya apalagi kalau bukan dapat dengan mudah mengerjakan PR dari ibu Hanifah, disamping nggak malu-maluin kalau disuruh mengerjakannya di depan kelas.
Bu Hanifah masuk dalam jajaran guru matematika terbaik di Indonesia, beliau pernah diminta Negara jiran, Malaysia, untuk membuat pintar orang-orang disana.

Seperti biasa si ibu guru secara bergiliran menugaskan muridnya mengejakan tugas di papan tulis secara berurutan sesuai tempat duduk. Aku sudah menghafalkan jawaban kalau mendapat jackpot maju ke papan tulis.
Dapat jackpot juga akhirnya, sesuai soal yang sudah aku hafal jawabannya. Setelah kutulis bu Hanifah bengong, kupikir karena aku cepat sekali menjawabnya. Bengongnya bu Hanifah menular ke seluruh kelas. Kini giliran aku yang bengong bercampur malu.

Untungnya acara bengong bareng berakhir dengan terdengarnya bunyi yang paling indah di dunia, bel istirahat, saved by the bell tidak hanya di arena tinju ternyata, di arena matematika juga ada.

Acara bengong bareng tadi disebabkan jawaban yang kusalin ke papan tulis salah halaman, akibatnya soalnya kemana jawabannya kemana, pantes aja bu Hanifah bengong.

Ketika Ibu Salmah Mengajar Bahasa Jawa

Iriana Wiharja ‘81

Kelasku Apadela alias 2 IPA 8 giliran memperoleh pelajaran Bahasa Inggris yang diasuh oleh ibu Salmah, guru yang kental dengan wajah Arabnya. Sebelum memulai pelajaran seperti biasanya bu Salmah menanyakan pelajaran terakhir sudah sampai dimana?

Aku tambahkan bahwa bu Salmah paling senang memberi tugas sebelum memulai pelajaran baru. Nah, kali ini beliau memberikan tugas menghafal kosa kata dari Student Book.

Supaya tidak sampai malu hati kalau ditanya oleh beliau, maka aku menghafalnya dengan seksama. Kosa kata yang harus dihafalkan adalah kata yang didahului dengan about.


Aku duduk di belakang sisi kanan kalau kita menghadap papan tulis, yuk kita mulai menikmati pelajarannya.

Bu Salmah menanyakan tugas, semua menjadi pendiam kalau begini, walaupun aslinya bangor-bangor. Inisiatifku muncul untuk memberitahukan beliau.
“Bu, tugasnya menghafal kata-kata tentang about-about-an”

Harapan mendapat pujian malah mendapat ejekan karena ternyata bu Salmah salah dengar. Seluruh kelas menertawakan, biasalah kelas yang penuh anak urakan memang paling seneng kalau friend-nya sengsara. Semua tertawa walaupun ada yang tidak jelas apa yang ditertawakan.
“Apaan sih? Apaan sih?”, begitu kalimat yang berkumandang

Bu Salmah mengulangi kalimatnya, kali ini tawa sekujur kelas semakin menggelegar. Jadi malu untuk melanjutkan.

Baiklah, ini siaran ulangan beliau.
“Masa Iriana mengira ini pelajaran Bahasa Jawa? Bukannya bilang kata dengan awalan about tapi yang diucapkan kata dengan awalan mboten-mboten

Thursday, January 29, 2009

Kisah Sepenggal Sisir Raksasa

Adriano Rusfi
3 IPA 1 Smandel 83

Saat itu hari Senin, entah tanggal berapa. Tapi yang pasti kelas satu semester dua. Ya, karena saat itu aku sebangku dengan Didi Arifin, Si Keriting nan Kemayu. Berarti jam pelajaran pertama aku akan berhadapan dengan Ibu Galak Tersayang : Ibu Mariana. Ondeh mandeh... berarti aku berhadapan dengan tiga berita buruk sekaligus, ya Ibu Mariana, ya Bahasa Inggris, ya buku Student Book yang maha berat itu (maafin aku ya Bu...).

Buku yang satu ini memang menyebalkan. Ukurannya tak pernah muat di tasku yang kecil. Dan aku harus menentengnya di tangan secara bergantian. Tangan yang, lagi-lagi, juga kecil. Seperti mengangkat barbel sambil berjalan rasanya, dari rumah ke terminal Kampung Melayu, dari Tongtek ke Takitri tercinta : pulang-pergi !. Belum lagi dengan pelajaran Bahasa Inggris yang hingga hari inipun aku nggak kunjung pintar. Tentang ibu Mariana? Ah sudahlah, kita sama-sama tahu. Seh... (Lagi-lagi maafin kedangkalan sikapku Bu...)

Tapi pagi itu ada secercah harapan, semacam Escape from Alcatraz. Seksi Upacara OSIS ada rencana latihan gerak jalan persis pada jam pertama, persiapan lomba gerak jalan se Jakarta Selatan. Kebetulan aku anggota Tim Srigala, nama tim Smandel saat itu. A-ha... berarti tak perlu ikut Bahasa Inggris dan tak perlu bawa Student Book. Bahkan di tasku masih ada lowongan untuk sebilah sisir. Obat ganteng ini biasanya diperlukan sehabis latihan gerak jalan. Wow... I like this Monday (Kalo kalimat yang ini ajaran Ibu Mariana. Makasih Bu…)
Dan tak seperti biasanya, pagi itu aku melangkah riang dan ringan ke sekolah. Membayangkan wajah seorang malaikat penyelamat bernama Benny, kakak kelas yang pelatih Tim Srigala, yang minta ijin ke Ibu Mariana agar aku ikut latihan. Membayangkan langkah-langkah tegap serempak berwibawa keliling Taman Bukitduri sambil berteriak ala srigala : Auuummm. Sementara nun di kelas I IPA 1 sana, terbayang wajah sobat Bahtiar yang terbata-bata melafalkan Good Night, lalu diomelin Ibu Mariana (karena selalu melafalkan ”Gut Naik”...)
Tik...tak...tik...tak...
Waktu beranjak mendekati bunyi bel jam pertama. Aku duduk-duduk di kursi panjang depan kelas yang bersebelahan dengan kantin. Tapi tak ada tanda-tanda latihan akan mulai. Lalu... Kriiiing... bel berbunyi tanpa sehelaipun wajah Benny yang memanggil latihan. Kali ini bunyi bel itu terasa memekakkan. Lebih mirip bunyi alarm tanda bahaya atau semacam lonceng kematian. Apa boleh buat, kaki ini terpaksa melangkah ke dalam kelas. Duduk persis di depan meja guru, gara-gara aturan moving-sit yang diusulkan temanku Nining.
Tik...tak...tik...tak...
Harapan pupus sudah. Bu Mariana sudah masuk kelas dengan sapuan mata tajam.
”Good Morning”, sapanya
”Good Morning, Mom”, balas kami serentak. Untuk kalimat-kalimat standard macam ini aku masih bisa ikutan berteriak.
”Keluarkan Student Book kalian !!!”.
Mati aku. Kitab keramat ini sengaja nggak dibawa.
Tik...tak...tik...tak...
Bu Mariana mulai melangkah memeriksa meja demi meja, beberapa langkah jauhnya dari sebuah meja di mana seorang penghuninya lagi panik. Celakanya beliau bisa berjalan lancar kerena tak satupun yang tak membawa Student Book. Ya, siapa sih yang berani melawan titah Ibu Mariana? Ya Tuhan... kenapa hari ini Engkau jadikan temanku patuh semua???
Tik…tak…tik...tak...
Ah, mana itu Si Benny? Walaupun dia cukup galak saat latihan, tapi kehadirannya saat ini sangat diperlukan. Tak ada tanda-tanda dia akan segera datang. Mataku mengarah keluar lewat jendela, berharap teman-temanku sudah berkumpul. Dan kupingku kini mengarah ke pengeras suara yang ada di depan kelas. Siapa tahu ada panggilan dari Seksi Upacara untuk latihan. Tapi panggilan itu tak kunjung terdengar.
Dan tiba-tiba saja Ibu Mariana telah berdiri persis di sebelahku
”Hey seh, Adriano, mana Student Book loe?!”. Mati aku
“Ketinggalan bawa Bu”. Mencoba berkelit sambil berharap ketukan pintu
“Apa aja sih isi tas loe, sampe nggak bawa Student Boo ??? Coba buka, gue mau periksa isinya !!!”. Seakan malaikat Zabaniyah siap melemparku ke neraka.
Tik…tak…tik…tak…
Aku mulai membuka ritsleting tas dengan pelan dan gemetar. Soalnya, aku tahu apa isinya. Salah satunya adalah ”granat” yang akan meledakkan rasa malu begitu tas dibuka. Dan ”granat ”itu langsung menyembul dari balik ritsleting. Meledak lewat teriakan Bu Mariana,
”Lihat ! Adriano bawa sikat raksasa dalam tasnya !!!”.
Pyar... itu adalah sebuah sisir blow berukuran lumayan besar !!! Saya bawa obat ganteng untuk nyisir sehabis latihan. Dan sisir blow lagi trend saat itu. Tapi, maluuuunyaaaa...... Teman-teman semuanya tertawa ngakak, tapi di kupingku terdengar mirip suara petasan caberawit yang meledak beruntun.
Tik...tak...tik...tak...
Dan ”Pagi Pembantaian” itu belum berakhir,
”Didi, Adriano ini tinggal di mana ? Kok bawa Student Book aja nggak mau ?”. Beliau bertanya ke teman semejaku. Didi sekeluarga memang cukup dekat dengan Ibu Mariana.
“Di Kampung Melayu, Bu”. Aku memang tinggal di Kampung Melayu Besar, tepatnya di jalan Masjid II.
“Lha, nggak jauh kok”.
Wah, pertanda bahwa kesalahan ini nggak termaafkan. Berarti aku harus pasrah untuk sebuah hukuman. Tapi,
“Tok…tok…tok…”. Suara ketukan terdengar jelas dari arah pintu kelas. Juru Selamat itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu sambil tersenyum ramah.
”Selamat pagi Bu. Mau minta ijin ngajak teman-teman IPA 1 latihan gerak jalan”.
Ahhh... Benny datang persis sebelum vonis dibacakan. Bak petinju, aku ini Saved By The Bell. Thanks, Ben.

(Oeoet, terima kasih kirimannya)